Dalam masa menjelang
pemilu sekarang, isu tentang utang negara dijadikan salah satu alat untuk
menarik simpati masyarakat.
Cuitan-cuitan tentang utang negara pun makin marak dijumpai. Beberapa cuitan
tersebut kebanyakan berisi tentang mengapa Indonesia harus melakukan utang, untuk
apa utang dilakukan, mengapa utang malah digunakan untuk membangun
infrastruktur yang hanya bisa dinikmati kalangan menengah ke atas, hingga yang
paling parah seperti Indonesia akan mengalami krisis moneter dalam keadaan
utang negara seperti sekarang.
Nah,
sebelum membahas semua itu, tentu kita harus mengetahui apa itu utang negara
dulu, ‘kan? Jadi, menurut UU Nomor 1 Tahun 2004, utang negara adalah jumlah
uang yang wajib dibayar pemerintah pusat dan/atau kewajiban pemerintah pusat yang dapat dinilai
dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian,
atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.
Selanjutnya, mengapa, sih,
Indonesia harus melakukan utang? Mengapa Indonesia gemar menambah beban keuangan? Menurut Robert Pakpahan selaku Dirjen
Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Indonesia memiliki kebutuhan dalam
mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Memang
pembangunan tanpa utang akan jauh lebih baik. Namun sekali lagi, tujuan kita
adalah mempercepat pembangunan. Jadi, kita memang butuh lebih banyak anggaran.
Dan dari pendapatan negara kita sendiri, anggaran tersebut belum terpenuhi.
Maka dari itulah Indonesia perlu melakukan utang.
Nah, sekarang pertanyaan yang
mungkin muncul adalah mengapa kita harus mempercepat pembangunan? Mengapa tidak
melakukannya secara perlahan saja?
Kira-kira, menurut Ajik
Purnomoputro selaku Kepala Seksi Pengembangan Model Analisis DJPPR sekaligus
dosen mata kuliah hukum keuangan negara di PKN STAN, logikanya seperti: kita
memiliki sejumlah uang dan saat itu, kita butuh membeli rumah. Dalam keadaan
tersebut, kita punya dua pilihan. Jika kita membayar uang muka sebuah rumah,
maka untuk beberapa waktu yang akan datang kita juga harus membayar
cicilan—yang tentu saja mengurangi anggaran kita untuk makan, misalnya. Namun
jika kita hanya menyimpan uang itu di bank dan menunggu hingga mampu membayar
lunas sebuah rumah, maka harga rumah juga mengalami kenaikan dalam masa-masa
pengumpulan uang tersebut. Dan biasanya, kenaikan harga rumah tidak sebanding
dengan bunga tabungan. Jadi, kemungkinan untuk dapat membeli rumah juga makin
kecil.
Lalu setelah memahami mengapa utang
perlu dilakukan, mungkin kita bertanya-tanya, "Untuk apa utang tersebut?"
Dalam Media Briefing Pengelolaan Utang Pemerintah Pusat pada 6 April kemarin,
Luky Alfirman selaku Dirjen DJPPR menyatakan bahwa utang negara digunakan untuk
belanja produktif yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perlindungan
sosial, dan peningkatan DAK Fisik dan Dana Desa. Jadi, karena pengalokasiannya
untuk belanja-belanja yang bersifat produktif, kita tentu bisa berharap mampu
membayar utang-utang tersebut.
Contoh nyata penggunaan utang luar negeri Indonesia di masa mendatang adalah untuk enam program yang telah disetujui oleh Bank Dunia dan mendapat kucuran dana sebesar 13,86 triliun rupiah, seperti yang dikutip dari CNNIndonesia. Keenam program tersebut adalah peningkatan pengelolaan limbah padat di kota-kota besar di Indonesia; program pengelolaan air limbah di perkotaan milik Kementerian PUPR; program peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam belanja pendidikan; Proyek Pembangunan Perkotaan Nasional (National Urban Development Project/NUDP); program penguatan kelembagaan untuk peningkatan layanan desa yang dilaksanakan Kementerian PUPR; program mitigasi risiko sumber daya alam berupa panas bumi atau geotermal.
Nah, setelah mengetahui pengalokasian
utang, masyarakat nyatanya juga banyak bertanya-tanya mengapa pemerintah lebih
memilih menggunakan utang tersebut untuk membangun beberapa infrastruktur yang
hanya bisa dinikmati oleh kalangan menengah ke atas—contohnya jalan
tol—bukannya dialokasikan untuk subsidi yang bisa langsung dinikmati oleh
masyarakat menengah ke bawah. Jawabannya sederhana. Pendistribusian subsidi
juga membutuhkan transportasi. Dan jika jalan tol tidak dibangun, subsidi akan
sulit didistribusikan—karena kemacetan misalnya. Apalagi untuk daerah-daerah di
Papua yang dulu hanya bisa ditempuh dengan menggunakan helikopter.
Gambaran lainnya adalah pembangunan
pabrik di Indonesia yang dananya berasal dari investor-investor asing. Untuk
mendapatkan bahan-bahan yang akan dikelola, tentu sebuah pabrik memerlukan
transportasi. Jika jalan tol tak ada, maka kemacetan akan semakin parah.
Bahan-bahan akan makin lama sampai ke pabrik tersebut. Selain merugikan dari
segi waktu, hal itu juga merugikan dari segi ekonomi. Dan dengan begitu, bukan
tak mungkin investor-investor asing lebih memilih berinvestasi ke negara-negara
lain. Padahal dari segi keuangan, kita mungkin belum mampu membangun pabrik
sendiri. Alhasil, tingkat pengangguran di Indonesia makin bertambah. Kemakmuran
rakyat dan pendapatan negara juga otomatis akan berkurang.
Yang terakhir, seberapa tinggi,
sih, utang negara kita saat ini? Apakah masih dalam batas wajar? Apakah hal itu
akan membebani anak-cucu kita nantinya? Atau malah bisa membuat negara kita
mengalami krisis moneter seperti tahun 1998?
Berdasarkan data Statistik Utang
Luar Negeri Indonesia, sampai dengan akhir Januari 2018, total utang pemerintah
dan luar negeri swasta adalah Rp6.310,36 triliun. Rasionya masih aman—2,94%,
dijaga agar tetap di bawah 3%. Jumlah utang juga masih dalam rasio sekitar 30%
dari PDB, yang mana tetap memenuhi fiscal
rule kita yang mengatur bahwa utang tidak boleh melebihi 60% dari PDB.
Jadi, jika ditanya apakah utang
kita tinggi, maka jawabannya adalah iya. Namun hal tersebut juga tak bisa hanya
dilihat dari satu sudut pandang. Karena meski jumlah utang kita naik, jumlah pendapatan
negara kita juga naik. Bahkan defisit anggaran kita turun—dari 340,98 di tahun
2017 menjadi 110,56 di tahun 2018—yang mana merupakan sebuah kemajuan. Maka,
dari sini bisa disimpulkan bahwa utang Indonesia masih dalam batas wajar.
Apakah jumlah besar utang sekarang akan
membebani anak-cucu kita nantinya? Kemungkinan besar jawabannya adalah tidak.
Karena seperti yang telah diuraikan di atas, utang kita digunakan untuk
belanja-belanja bersifat produktif. Jadi, pemerintah berharap hasil dari
realisasi belanja-belanja tersebut dapat membayar utang negara. Jika nanti
pajak dinaikkan pun, diharapkan masyarakat tak terlalu terbebani, karena
penghasilan mereka juga meningkat seiring dengan makin banyaknya lapangan
pekerjaan dan kemudahan-kemudahan dalam berbagai hal.
Lalu apakah dengan jumlah
utang saat ini, Indonesia akan mengalami krisis di segala bidang hingga hancur
kemudian? Berdasarkan uraian di atas, tentu kita bisa menarik kesimpulan bahwa
jawabannya adalah tidak. Karena nyatanya, dengan jumlah utang seperti sekarang,
ekonomi Indonesia malah mengalami kemajuan.
Namun bukan berarti pula makin
banyak utang, kita akan makin berkembang. Hal tersebut sangat bergantung pada pendapatan,
pengelolaan utang, dan manajemen keuangan negara kita. Sangat bergantung pula
pada kepedulian masyarakat terhadap uang negara—misal dengan membayar pajak,
karena lebih dari 80% pendapatan kita berasal dari pajak.
Maka dari itulah, sebagai
masyarakat, kita harus melek informasi terhadap APBN. Karena semua yang ada di
dalam sana adalah milik kita sehingga perlu dijaga bersama. Kita harus
mengetahui uang kita dialokasikan ke mana saja dan seberapa baik uang tersebut
dikelola. Selain itu, kita juga harusnya tak terlalu mudah terpengaruh isu-isu
kurang benar. Kita harus mengetahui kebenarannya dulu dari lembaga resmi agar
stabilitas negara tak terganggu.
Karena sekali lagi, pendapatan dari
APBN sebagian besar berasal dari pembayaran pajak kita pada negara. Kita berkontribusi
penuh dalam keuangan negara. Jika kita saja tak peduli—menganggap itu hanya
urusan pemerintah lalu gampang terpengaruh isu negatif dan menjadi panik—bagaimana
mungkin keuangan negara dapat mempertahankan eksistensi dan kejayaannya dengan
baik?
Daftar pustaka:
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/02/140323026/utang-indonesia-melonjak-perlukah-kita-khawatir
Bahan
ajar dosen mata kuliah hukum keuangan negara tatap muka kesepuluh
Artikel yg menarik, mantaplah!
BalasHapus❤
HapusMantapp ๐
BalasHapus๐
BalasHapusBetulll
BalasHapusNice ๐
BalasHapusBermanfaat sekali kakak,,sippp
BalasHapusKeren
BalasHapusTerbaik nawull ๐
BalasHapusMakasih, Bu Dokter Gigi Favoritku❤❤
HapusMantapppp nawang๐
BalasHapusMantul bung.. Lanjutkan
BalasHapusMantapp.. sangat bermanfaat ❤
BalasHapusbermanfaat sekali ibuk
BalasHapusMantap kak. Membuat kita semakin tahu ๐
BalasHapusWaduhh mantap bu , pa ajik qoutes๐๐
BalasHapusWahh good job kakk๐
BalasHapusNice post, Barakallaah ๐
BalasHapusKeren wanng ๐
BalasHapusSangatttt mengispirasiii
BalasHapusWahh ada nama pak ajik juga
BalasHapusWah tadinya gua gak kepikiran Indonesia bakalan hancur, tapi karna ini judulnya klikbeit gilak parah :), gua jadi excited
BalasHapusMantaaps mbak wang๐๐
BalasHapusMantap min
BalasHapusKOK BAGUS
BalasHapusThx infonya
BalasHapusgood lah
BalasHapusBagus kak materinya
BalasHapusTerimakasih kak infonya. Sangat bermanfaat
BalasHapus