Langsung ke konten utama

Dunia Tinta-Konflik dan Resolusi (Tips)

Kalian pasti tahu apa itu konflik dan resolusi. Tapi apa kalian tahu makna konflik dan resolusi dalam sebuah cerita?

Yups, konflik dan resolusi itu semacam nyawanya cerita. Kalau enggak ada konflik, kenapa harus diceritakan? Dan kalau ada konflik, pasti harus disertai penyelesaian, 'kan?

Jadi, ayo kita belajar cara memunculkan dan mengeksekusi konflik!

1. Selalu tampilkan konflik dalam tiap adegan.

Kalian tahu adegan tanpa konflik itu terasa bagaimana? Iya, membosankan. Tapi enggak berarti juga kita harus membuat seribu konflik untuk seribu adegan, ya. Cukup satu konflik utama, namun ditampilkan secara bertahap dan mungkin misterius--agar timbul unsur suspense dalam cerita.

Ingat, jangan pernah memasukkan adegan yang enggak ada sangkut pautnya sama konflik utama. Adegan penegas watak? Boleh-boleh saja. Tapi alangkah baiknya kalau diselingi konflik juga.

Misalnya, aku mau membuat cerita berkonflik utama perubahan diri Parameswara dan apakah dia akan kembali ke dirinya semula. Aku bisa buat adanya pertanyaan si sahabat tentang mengapa Parameswara berubah di adegan pertama. Lalu di tiap bab berikutnya, aku bisa menampilkan satu per satu tahapan perubahan diri Parameswara dan alasan-alasan kecilnya. Di beberapa bab selanjutnya, aku bisa buat klimaks berupa adegan twist dan hal terbesar yang membuat Parameswara berubah. Lalu aku eksekusi secara mendalam dan hati-hati, agar bisa menampilkan ending yang memuaskan aku pribadi.

Jadi, ya, konflik seharusnya memang ditampilkan dari awal dan dieksekusi secara mendalam.

2. Jangan menyelipkan konflik lain yang malah membuat konflik utama tersamarkan.

Ini, nih, yang paling membuat pembaca tak mau melanjutkan membaca cerita kita--menurutku, seenggaknya. Bagaimana perasaan kalian waktu membaca cerita yang memiliki terlalu banyak konflik tapi tak berujung ke satu pun konflik utama? Kalau aku, sih, pasti langsung ngacir pergi dari cerita itu dan remove dari library atau segera tutup buku dan menyesal gara-gara sudah membeli.

Jadi, jangan lakukan hal serupa dengan ceritamu sendiri, ya.

3. Jangan pernah mengeksekusi konflik secara setengah-setengah.

Resolusi itu sepenting konflik. Ditambah lagi, resolusi yang buruk juga akan memberi akhir yang buruk. Dan kalau cerita kita memiliki bad ending, apa yang akan dilakukan pembaca kita? Kalau aku pribadi, sih, akan berjanji pada diri sendiri enggak akan lagi membaca cerita dari penulis yang sama.

Misal:
Untuk konflik yang sama seperti contoh di atas, aku memberi resolusi penceritaan masa lalu Parameswara yang menjadi alasan tak terbantahkan untuknya berubah. Lalu karena aku menggambarkan Parameswara sebagai sosok feminis yang sekuat baja, aku akan membuat dirinya tak akan kembali ke dirinya yang dulu. Selain untuk mempertegas wataknya--enggak plin plan--aku juga sekalian mau memberi amanat bahwa semuanya berubah dan tak ada yang bisa menghentikan atau mengembalikan keadaan. Apalagi, kalau kamu sendiri yang menjadi pendorong perubahan tersebut dan orang yang--kemungkinan besar--bisa mengembalikannya telah tiada.

Okay, maafkan bahasaku yang terlalu berbelit-belit.

Jadi, ya, this is it.

Tipsnya segini dulu, ya. Iya, aku enggak riset dulu, makanya cuma segitu. Semua tips di sini berdasarkan pengalaman pribadiku. Jadi, kalau kalian ada tips lain atau pembantahan tips di sini, tolong cantumkan di kolom komentar, ya. Biar aku perbaiki dan kita bisa belajar bersama-sama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Tau" atau "Tahu"?

"Tau" atau "tahu"? Jika Anda membuka KBBI dan mencari dua kata tersebut, maka KBBI akan berkata bahwa arti kata "tau" adalah merujuk pada kata "tahu" dan merupakan nama huruf ke-19 abjad Yunani . Sedangkan arti kata "tahu" adalah mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami, dsb), kenal (akan), mengindahkan, mengerti, dan masih banyak lagi . Jadi, yang manakah yang menjadi kata baku?  Lalu bagaimana saat Anda membuka EYD? Pernahkah Anda mencaritahunya di EYD pula? Jika pernah, pasti anda akan menyadari bahwa kata baku yang sebenarnya adalah "tahu". Namun bagaimana bunyi kata itu jika digunakan pada kalimat ini; "Kau tahu bahwa aku sedang makan tahu"? Lalu bagaimana dengan pengucapan Anda saat membaca kalimat tadi? Saya sangat yakin, bila Anda membacanya seperti ini; "Kau tau bahwa aku sedang makan tahu?" Benar? Ya. Sekarang ini, hampir semua rakyat Indonesia mengenal makanan berbahan dasar kedela...

Indonesia akan Hancur karena Utang?

Dalam masa menjelang pemilu sekarang, isu tentang utang negara dijadikan salah satu alat untuk menarik simpati masyarakat.   Cuitan-cuitan tentang utang negara pun makin marak dijumpai. Beberapa cuitan tersebut kebanyakan berisi tentang mengapa Indonesia harus melakukan utang, untuk apa utang dilakukan, mengapa utang malah digunakan untuk membangun infrastruktur yang hanya bisa dinikmati kalangan menengah ke atas, hingga yang paling parah seperti Indonesia akan mengalami krisis moneter dalam keadaan utang negara seperti sekarang. Nah, sebelum membahas semua itu, tentu kita harus mengetahui apa itu utang negara dulu, ‘kan? Jadi, menurut UU Nomor 1 Tahun 2004, utang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah pusat dan/atau kewajiban pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah. Selanjutnya, mengapa, sih, Indonesia harus melakukan utang? Mengapa Indonesia ...

Dunia Tinta-Tata Tulis Dialog (PUEBI)

Entah mengapa, saya terlalu bersemangat untuk mem- publish materi yang satu ini. Yup, kesalahan yang paling banyak dalam dunia tulis-menulis memang "penulisan dialog". Di grup Metisazia yang memberikan tugas pada saya untuk memberi materi EBI , materi ini bahkan telah diulang sebanyak enam kali, namun member masih bingung dengan penulisan dialog. Bahkan saya juga banyak menemukan kesalahan ini pada buku-buku cetak. Jadi, ya, this is it , hasil kegregetan saya dari itu semua, hihi.... Semoga membantu😄 BENTUK-BENTUK DIALOG 1. "Akan kubunuh[,]" [u]cap Lyvonne. ◾Sebelum petik menggunakan koma, dan setelah petik tidak kapital. Hal ini dikarenakan kata di luar petik masih merupakan kelanjutan dialog (dialog tag). 2 . "Akan kubunuh[.]" [L]yvonne berucap. "Akan kubunuh[.]" [D]ia mengayunkan paku ke dahi si target. ◾Sebelum petik menggunakan titik, dan setelah petik menggunakan huruf kapital. Hal ini dikarenakan kata di luar petik bukan...